Selasa, 17 Mei 2011

DANA APBN ( EKSPORT MIGAS & NON MIGAS )


Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Seperti namanya, maka secara garis besar APBN terdiri dari pos-pos seperti di bawah ini:
♦ Dari sisi penerimaan, terdiri dari pos penerimaan dalam negri dan penerimaan pembangunan.
♦ Sedangkan dari sisi pengeluaran terdiri dari pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.

APBN disusun agar pengalokasian dana pembangunan dapat berjalan dengan memperhatikan prinsip berimbang dan dinamis . hal tersebut perlu di perhatikan mengingat tabungan pemerintah yang berasal dari selisih antara penerimaan dalam negri dengan pengeluaran rutin ,belum sepenuhnya menutupi kebutuhan biaya pembangunan di Indonesia. Penerimaan dalam negri, untuk tahun tahun awal setelah masa pemerintahan orde baru masih cukup menggantungkan pada penerimaan dari ekspor minyak bumi dan gas alam . 

Sejak Repelita I berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mendorong kegiatan sektor migas. Langkah tersebut, sejak tahun 1971 dilengkapi dengan upaya untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan dalam pembagian hasil. Mulai Repelita III, dengan semakin besarnya produksi dari negara-negara bukan anggota OPEC, harga minyak bumi dan gas alam menunjukkan kecenderungan yang menurun. Menyadari hal tersebut, pada kuartal terakhir 1982/83 OPEC menerapkan kuota produksi yang rendah kepada anggota-anggotanya. Namun harga minyak cenderung menurun terus. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir upaya untuk menggalang persatuan di negara-negara OPEC dalam rangka memelihara tingkat harga yang wajar terus dilanjutkan.
Penerimaan dari migas juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi dan tingkat konsumsi BBM dalam negeri, Upaya untuk mengembangkan kapasitas sektor migas yang telah dilaksanakan sejak Repelita I telah berhasil meningkatkan produksi minyak bumi dari 219,9 juta barel dalam tahun 1968 menjadi 616,5 juta barel dalam tahun 1977/78. Sejak itu produksi minyak mulai menurun yang disebabkan oleh penurunan produksi secara alamiah dari lapangan-lapangan minyak tua. Sementara itu konsumsi dalam negeri meningkat terus. Pada tahun 1987/88 produksi minyak bumi menjadi 507,9 juta barel sehingga kapasitas ekspor juga turun. Untuk itu selama 5 tahun terakhir telah dilaksanakan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan produksi dan menghemat penggunaan BBM.

Salah satu upaya penting dalam menjamin kelangsungan produksi minyak bumi dan gas alam adalah dengan menciptakan iklim yang merangsang bagi investasi di bidang perminyakan, terutama dalam rangka mengembangkan eksplorasi minyak lahan baru di wilayah baru (frontier). Langkah-langkah tersebut dilanjutkan dengan paket insentif yaitu berupa bagi hasil gas antara pemerintah dan kontraktor . Paket ini terdiri dari 9 bagian dan berlaku untuk lahan baru di wilayah baru, lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di daerah yang sudah diketahui.
Dengan diberikannya insentif tersebut Indonesia diharapkan tetap menarik sebagai tempat penanaman modal bidang migas di kawasan Asia Pasifik, mengingat beberapa negara tetangga juga telah menyediakan perangsang cukup besar bagi investor asing di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi. Dengan demikian sumber-sumber dari migas tetap dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai salah satu sumber penerimaan dalam negeri yang penting.
Berbagai insentif yang telah diberikan seperti tersebut di atas telah berhasil meningkatkan volume produksi dan ekspor migas. Selama periode 1987/88-1991/92 produksi minyak bumi (termasuk kondensat) meningkat 3,1% per tahun. Walaupun demikian penerimaan negara dari migas selama 5 tahun terakhir mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan harga migas di pasaran internasional. Perkembangan yang menonjol adalah sehubungan dengan timbulnya krisis Teluk dalam bulan Agustus 1990 yang telah meningkatkan harga minyak dunia. Sebagai akibatnya harga ekspor minyak Indonesia juga meningkat dalam bulan Oktober 1990. Lonjakan harga minyak tersebut meningkatkan penerimaan migas pada tahun anggaran 1990/91 menjadi sebesar Rp 17,7 triliun atau naik 57,4% dari tahun sebelumnya. Selanjutnya dalam tahun 1991/92, dengan berakhirnya Krisis Teluk, harga minyak merosot lagi dan berfluktuasi pada tingkat yang lebih rendah. Dengan asumsi tingkat rata-rata harga minyak sekitar US$ 18 per barel, penerimaan migas dalam APBN 1992/93 diperkirakan dapat mencapai Rp 13,9 triliun.

Sumber : dari berbagai sumber



Tidak ada komentar:

Posting Komentar